Posted by : Unknown 1 Agu 2013

Tulisan ini saya salin dari blog kakak saya. Ini adalah kejadian yang pernah dialami keluarga saya. Waktu itu saya masih kecil, karena itu saya hampir tidak mengingat detil kejadian itu.




# Prolog
Beberapa waktu lalu, pada hari Minggu, 30 Oktober 2011, pukul 22.53 WIB, saya sempatkan untuk berbagi status di akun Facebook saya (pasif) yang bertuliskan:
Yudhistira N. Widayat:
Jika bencana itu benar-benar jadi menelan kami, barangkali kematian sudah menghampiri kami saat itu. Namun, ternyata Allah berkehendak lain. Allah melindungi dan menjaga kami. Syukran katsiran ya, Rabb….
(Kenangan tragedi 9 Desember 1999)
Jujur saja, kenangan itu sangat melekat dalam ingatan saya, dan insyaaLlah tak akan pernah terlupakan, meski memang tidak setiap saat selalu terpikirkan yang disebabkan oleh kesibukan-kesibukan aktivitas sehari-hari yang selalu rutin saya lakukan setiap saat.
Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagi dan menceritakan tentang kisah nyata yang pernah saya alami pada masa lampau, tepatnya pada hari Kamis-Jumat sekitar waktu tengah malam, 9-10 Desember 1999. Sebuah peristiwa yang (sejujurnya) sangat dahsyat. Tak jarang, sesekali saya mengenangnya bersama ibu saya saat ada waktu senggang. Jika ada kesempatan untuk bercengkerama, terkadang kami tidak melewatkan untuk mengenang tragedi itu.
# Perpisahan (Selasa, 7 Desember 1999)
Nomad, itulah deskripsi abstrak tentang perjalanan hidup keluarga kami. Ayah saya yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), pernah dipindahtugaskan pada masa itu. Mau atau tidak mau, saya bersama ibu dan adik saya harus ikut hijrah bersama ayah. Akibat sering hijrah itu, riwayat pendidikan saya pun juga sangat ekstrim. Bagaimana tidak? Saya pernah belajar di dua Taman Kanak-Kanak (TK), tiga Sekolah Dasar (SD), dan dua Sekolah Menengah Pertama (SMP). Baru ketika saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), saya sudah tidak berhijrah lagi. Di masa SMA inilah saya hanya belajar di satu sekolah.
Tentang tragedi ini, meski bukanlah pertama kalinya kami berhijrah, namun pada saat inilah petualangan hidup saya yang ‘sebenarnya’ dimulai. Tak disangka-sangka, pada saat saya masih duduk di bangku kelas IV SDN Klojen 1 Malang, ayah dan ibu memberi kabar kepada kami berdua, saya dan adik, tentang rencana perpindahan keluarga kami ke Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Saat itu saya masih kecil; masih polos, jadi belum mengerti apa-apa tentang urusan orang dewasa. Tentang kesedihan karena berpisah dengan Kota Malang dan teman-teman sekolah, memang ada. Namun kesedihan itu seperti melintas begitu saja. Tak ada rasa sedih yang berlarut-larut dalam hati saya ketika itu. Mengapa? Sekali lagi, karena saya masih kecil dan polos. Jadi, belum mengerti arti ‘perpisahan’ yang sebenarnya.
Ketika jam pelajaran terakhir telah usai, sebelum siswa-siswi sekelas pulang, Ibu Mus (guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam) memanggil saya untuk berdiri di depan kelas dan menghadap kepada teman-teman sekelas yang masih duduk di bangku mereka masing-masing. Setelah itu, beliau mengumumkan tentang akan hijrahnya saya ke pulau seberang. Dengan wajah datar, saya hanya bisa memandang keadaan ruang kelas dan teman-teman untuk yang terakhir kalinya kala itu. Teman-teman pun juga begitu, mereka juga dengan wajah datar memandang saya. Saya masih ingat, ketika itu Ibu Mus meminta kepada teman-teman saya untuk menyanyikan sebuah lagu secara bersama-sama, mungkin dengan maksud supaya perasaan saya dan teman-teman tidak terlalu sedih. Sejenak, mereka berembuk singkat tentang lagu apa yang akan dibawakan untuk saya. Tak lama kemudian, dengan diiringi musik tepuk tangan sederhana, teman-teman saya menyanyikan sebuah lagu Pramuka yang berjudul Hora Hore Rio, sebuah lagu yang biasanya kami nyanyikan pada saat kegiatan Pramuka di sekolah pada hari Jumat (atau Sabtu, jika tidak salah). Seperti yang Anda ketahui, memang itu bukan lagu sedih, melainkan lagu ceria. Mereka menyanyikannya dengan wajah tersenyum. Saya pun juga tersenyum mendengarnya. Setelah teman-teman menyanyikan lagu itu, Ibu Mus menyampaikan sepatah dua patah kata kepada saya sembari cipika-cipiki, dan dilanjutkan dengan momen saling berjabat tangan antara saya dengan teman-teman sembari kemudian kami langsung keluar dari ruang kelas.
Teringat pula, ketika itu salah seorang sahabat saya, A’an (nama panggilan), sempat memberikan sesuatu (semacam kertas) kepada saya ketika akan berpisah. Dan sempat terjadilah dialog singkat dengan dialek Kera Ngalam (julukan sekaligus kebalikan dariArek Malang/Arema) yang kira-kira seperti ini:
A’an : Dhis, iki tak ke’i kenang-kenangan.
(Dhis, ini saya beri kenang-kenangan.)
Saya : Opo iki, An?
(Apa ini, An?)
A’an : Wes ta lah, Dhis. Tapi pesenku, ojo mbok buka’ nang omah, yo.
(Sudahlah, Dhis. Tapi pesan saya, jangan kamu buka di rumah, ya.)
Saya : Lha terus tak buka’ nang endi? Nang kapal a?
(Lalu saya buka di mana? Di kapalkah?)
A’an : Lha, iyo wes. Lek wes nang kapal ae, Dhis.
(Nah, iya sudah. Kalau sudah di kapal saja, Dhis.)
Saya : Yo wes lah. Suwun yo, An. Sorry lek aku duwe salah nang koen. Paling mene aku wes budhal.
(Ya sudahlah. Terima kasih ya, An. Maaf jika saya mempunyai kesalahan kepadamu. Mungkin besok saya sudah berangkat.)
A’an : Iyo, Dhis. Podo-podo. Ati-ati nang ndalan, yo. Ojo lali karo konco-konco nang kene. Syukur lek sok emben awake dewe iso ketemu maneh.
(Iya, Dhis. Sama-sama. Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa dengan teman-teman di sini. Syukurlah kalau suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi.)
Saya : Yo mugo-mugo ae, An. Yo wes, yo. Ayo muleh. Gak enak engko, wong tuwo kesuen ngenteni nang omah.
(Ya semoga saja, An. Ya sudah, ya. Mari pulang. Tidak enak nanti, orangtua terlalu lama menunggu di rumah.)
A’an : Iyo, ayo.
(Iya, mari.)
# Sepanjang Jalan Kenangan (Rabu, 8 Desember 1999)
Malam ini (Selasa, 7 Desember 1999) kami menginap di rumah paman saya, di Perumahan Dirgantara, di sekitar daerah Sawojajar, karena rumah kuno kontrakan kami di Jalan Patimura IV-A no. 288 sudah dikosongkan. Sudah tak ada lagi barang-barang kami di sana. Mungkin kunci rumah sudah dikembalikan oleh ayah dan ibu kepada pemiliknya, Bapak Dodok. Sebagian barang kami sudah dikirimkan pada hari-hari sebelumnya ke Pelaihari; dan sebagian lagi sudah dikirimkan ke Tuban, tempat tinggal nenek saya.
Malam ini saya dan adik tidur sangat pulas. Kami tidak tahu apakah ayah dan ibu sudah tidur atau belum. Namun sepertinya, mereka masih menyiapkan beberapa macam sesuatu untuk dibawa dalam perjalanan esok hari. Barangkali mereka juga ditemani oleh paman dan bibi. Sebelum tidur, saya sempatkan untuk beberapa kali melihat tiket kapal kelas ekonomi yang akan kami tumpangi besok. Yang tertera pada tiket itu kira-kira adalah nama kapal (KMP Salindo Mutiara I), tujuan (Tanjung Perak Surabaya – Bandarmasih Banjarmasin), dan waktu pemberangkatan (Kamis, 9 Desember 1999; pagi, entah pukul berapa, lupa). Ada rasa senang yang teramat sangat dalam hati saya. Mengapa? Karena inilah pertama kalinya saya akan melakukan perjalanan laut, dengan kapal laut pastinya. Sungguh saya merasa penasaran tentang bagaimana rasanya naik kapal. Yang saya pikirkan saat ini adalah pasti asyik, bisa melihat laut, kan aku suka laut, seperti Pantai Boom di Tuban, kota kelahiranku.
Bakda subuh (Rabu, 8 Desember 1999), mobil travel sudah tiba di depan rumah paman, menjemput kami. Memang kami memutuskan untuk berangkat ke pelabuhan lebih awal, sehari sebelumnya, dengan maksud agar tidak tergesa-gesa jika berangkat pada hari ‘H’. Kendaraan satu-satunya yang kami miliki hanyalah sepeda motor bermerek Honda Astrea Prima berpelat letter ‘S’ (dari Tuban, Karesidenan Bojonegoro, Jawa Timur), pemberian kakek saya kepada ibu pada masa lalu. Sepeda motor itu pun juga akan kami bawa hijrah ke pulau seberang. Ayah dan petugas travel sibuk mengatur posisi sepeda motor agar cukup ditumpangkan di dalam mobil travel. Setelah pas dan barang-barang bawaan sudah berada di dalam mobil travel, barulah kami naik ke dalam mobil travel.Sebelum berangkat, kami berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada paman dan bibi yang telah berbaik hati dan membantu kami.
Lama waktu yang ditempuh dari Malang menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya memerlukan waktu kira-kira sekitar tiga jam. Sepanjang perjalanan, saya berusaha mengingat-ingat tentang segala hal yang pernah saya alami di sini. Yang tak bisa saya lupakan, salah satunya adalah suhu Kota Malang yang cenderung dingin (sekarang sudah tak sedingin dulu, jauh berbeda); dan juga kenangan yang selalu saya ingat, dulu pada saat pulang kampung ke Tuban di waktu lebaran, sepanjang jalur inilah yang biasanya kami lalui, yaitu dari Malang menuju Tuban lewat Surabaya. Dengan wajah datar, saya memandangi sebelah kanan dan kiri luar kaca mobil travel. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Dalam hati, saya ucapkan sepatah dua patah kata, mengirim pesan batin kepada Kota Malang dan teman-teman sekolah tentang semua kenangan yang ada di sini. Namun, semua terasa berbeda. Selamat tinggal, Malang. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi.
Kota Pahlawan, Surabaya, menyambut kedatangan kami dengan ciri khasnya, suhu udara yang sangat panas. Sungguh sangat berbeda dengan Malang yang dingin. Sesampainya di Pelabuhan Tanjung Perak, kami langsung turun dari mobil travel dan menuju ke teras pelabuhan. Tak hanya kami yang berada di sana, banyak juga calon penumpang yang berjubel di area tersebut. Karena kapal baru berangkat besok pagi, akhirnya kami memutuskan untuk menginap semalam di teras pelabuhan yang terbuka tanpa pintu dan jendela. Sembari duduk-duduk dan berbaring di tikar yang telah kami gelar, lalu saya diajak oleh ayah melihat-lihat situasi dan kondisi di sekitar area pelabuhan. Ada kapal yang berangkat berlayar, ada juga yang datang berlabuh. Silih berganti, barangkali memang sudah sesuai dengan jadwalnya masing-masing.
Sepanjang satu malam itu, kami sekeluarga beristirahat di sana. Memang agak sedikit merinding dengan suasana kehidupan Surabaya yang terkenal keras. Banyak pencopet apalagi, itu yang membuat kami tak bisa tenang. Seandainya kami kehilangan barang (uang misalnya), ya apa boleh buat. Barangkali kami tidak jadi berangkat. Kondisi keuangan kami sangat pas-pasan; sangat terbatas. Jika saja kami kaya harta, mana mungkin kami naik kapal. Mungkin ayah dan ibu sudah membeli tiket pesawat jauh-jauh hari sebelumnya. Jadi, kami tak perlu merasakan suasana yang suram dengan tidur di teras pelabuhan. Namun, ya inilah kehidupan. Allah sudah pasti memberikan yang terbaik kepada setiap hamba-Nya. Kami serahkan semua keadaan kami kepada-Nya.
# Badai Dahsyat Malam Hari di Laut Jawa (Kamis, 9 Desember 1999)
Tak terasa, hari sudah pagi. Kami pun mulai berkemas untuk bersiap melakukan perjalanan panjang menuju pulau seberang. Begitu juga dengan para penumpang yang lain, sekaligus mereka adalah teman tidur kami di teras pelabuhan. Pengumuman tentang akan diberangkatkannya KMP Salindo Mutiara I sudah terdengar dariloudspeaker di pelabuhan. Saya, adik, dan ibu pun bergegas menuju pintu masuk ruang tunggu penumpang. Sementara ayah, dengan mengendarai sepeda motor yang kami bawa dari Malang, langsung memasukkan sepeda motor tersebut ke dalam kapal. Tak lama kemudian kami menyusul beliau masuk ke kapal. Sebelum masuk ke area tempat duduk penumpang, ayah dan ibu sibuk mengikat sepeda motor di tiang yang berada di pinggir dek kapal, dengan tujuan agar sepeda motor tidak roboh ketika kapal dalam keadaan miring selama berlayar.
Sesampainya di area tempat duduk penumpang, kami memilih posisi tempat duduk yang nyaman untuk kami tempati. Karena penumpang yang berada dalam kapal kali ini (sangat) sedikit, jadi kami dengan leluasa bisa memilih posisi tempat duduk yang paling kami sukai. Sempat heran dan terpikirkan, mengapa penumpangnya sedikit? Barangkali hanya ada sekitar 15 penumpang (bahkan mungkin kurang dari itu, saya agak lupa). Sungguh sangat tak sebanding dengan kapasitas penumpang yang tersedia (mungkin 200 lebih).
Akhirnya kapal pun berangkat berlayar menuju pulau terbesar di Indonesia itu. Betapa senangnya hati saya saat pertama kalinya merasakan perjalanan laut, merasakan pertama kalinya naik kapal. Pemandangan laut yang sungguh indah. Sungguh Mahasuci Allah yang telah menciptakan indahnya pemandangan ini. Beberapa kali saya dan adik keluar dari ruang penumpang hanya untuk merasakan perjalanan dari luar ruangan, supaya bisa melihat dan merasakan lajunya kapal yang sebenarnya. Setelah merasa lelah, kami pun masuk lagi untuk duduk di dalam ruang penumpang, hingga akhirnya kami berempat tertidur.
Tiba-tiba saya terbangun; dan kemudian melihat waktu pada jam tangan yang saya pakai. Ternyata sudah sore, barangkali sudah masuk waktu asar. Yang saya rasakan, guncangan kapal ini lebih terasa jika dibandingkan dengan saat awal keberangkatan tadi. Kapal terombang-ambing ke kanan dan ke kiri secara bergantian dengan sudut kemiringan kira-kira mencapai 45 derajat dari permukaan air laut. Suasana di luar gerimis disertai angin yang tak begitu kencang yang masuk ke dalam ruangan, sehingga bisa dirasakan oleh setiap penumpang yang berada di dalam kapal.
Semenjak sore tadi, saya tak bisa tidur lagi; merasa tidak tenang. Sepertinya guncangan kapal ini semakin lama semakin terasa, seiring berjalannya waktu menjelang petang hari. Saat senja hari tiba, matahari mulai terbenam di ufuk barat. Sungguh pemandangan ini sangat jelas terlihat di Laut Jawa sebelah barat. Cahaya terang telah pergi; dan datanglah gelap gulita. Lampu-lampu di kapal mulai dinyalakan oleh para petugas. Yang bisa saya lakukan hanyalah melihat ke arah luar kapal dari balik kaca. Sepertinya hujan semakin lebat saja. Angin yang bertiup pun juga semakin kencang. Suara ombak di luar juga cukup keras terdengar.
Malam pun tiba, memasuki waktu isya. Semakin kencangnya angin yang bertiup hingga mengeluarkan bunyi seperti suara orang bersiul, juga semakin menambah rasa ketidaktenangan kami. Dari sinilah saya mulai berubah pikiran. Kesan saya yang tadinya menyenangkan, sekarang berubah menjadi tidak menyenangkan. Gumam saya dalam hati, “Tiba’e gak enak numpak kapal. Medeni, engko lek kapale nggoleng ya’opo terusan? Lek kelelep, lak mati aku..?!” (Ternyata tidak enak naik kapal. Menakutkan, kalau kapalnya roboh bagaimana nanti? Kalau tenggelam, kan saya mati..?!)
Semakin mendekati waktu tengah malam, guncangan kapal ini kian terasa. Kapal terombang-ambing ke kanan dan ke kiri dengan sudut kemiringan kira-kira mencapai 60 derajat dari permukaan air laut. Sungguh badai yang sangat luar biasa. Dan baru pertama kalinya ini saya merasakan mabuk laut. Ternyata obat ‘anti mabuk’ yang kami minum sebelum pergi tadi pagi tidak mempan. Kami tak bisa merasakan ketenangan. Karena sudah malam, akhirnya ibu menggelar tikar di bawah; dan menyuruh saya dan adik untuk tidur di situ; beliau pun beberapa kali membelai rambut kami berdua. Saat inilah saya merasakan betapa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tak terhingga sepanjang masa. Secara tidak langsung, sepertinya ibu mengajak kami untuk berserah diri kepada Allah. Jika memang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kami harus selalu siap untuk dipanggil oleh Allah sewaktu-waktu.
Ayah menyempatkan waktu untuk membeli beberapa gelas teh panas di kantin kapal untuk kami berempat. Namun, pada saat berjalan untuk kembali menuju ke tempat duduk, tiba-tiba kapal bergerak miring ke kiri dengan sudut kemiringan yang cukup tajam. Akibatnya, locker yang berada di dekat dinding musala pun roboh dan mengenai ayah saya yang sedang membawa beberapa gelas teh. Namun alhamduliLlah, untung saja tehnya tidak tumpah. Kemudian beliau dibantu oleh para penumpang yang lain untuk membenarkan kembali posisi locker seperti semula.
# Menunggu Pagi (Jumat, 10 Desember 1999)
Sejak tadi saya hanya bisa berbaring bersama adik dan ibu di tikar yang tadi digelar oleh ibu. Keadaan kapal yang sedari tadi berguncang ke kanan dan ke kiri karena terjangan badai, membuat saya hanya bisa terdiam; dan merenungi semua hal yang pernah saya alami selama ini. Berbagai ingatan pun muncul. Tentang kota kelahiran saya (Tuban, Jawa Timur), kota tempat saya dibesarkan (Malang, Jawa Timur), teman-teman sekolah saya sejak TK kelas 0 kecil hingga SD kelas IV, para keluarga dari pihak ayah dan ibu, dan juga hal-hal yang lain; semua tiba-tiba muncul dalam pikiran. Lagi-lagi saya menggumam dalam hati, akankah semua ini tinggal kenangan akhirnya nanti dengan waktu yang sesingkat ini? Hamba mohon jangan ya, Allah…. Tolonglah kami semua yang ada di dalam kapal ini ya, Allah….
Saya melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 00.00 WIB. Badai juga masih tetap bermain dengan gaduh di luar sana. Sehingga kapal ini selalu terkena imbasnya. Akhirnya saya serahkan keadaan kami semua ini kepada-Nya. Lagipula percuma, apapun yang kami lakukan juga tak akan menyelesaikan masalah. Bisa Anda sekalian bayangkan (atau mungkin ada juga yang pernah mengalami hal ini), ketika melihat sekeliling di luar kapal, yang ada hanyalah air yang betapa luasnya. Tak akan ada di tengah lautan kita temui rumah penduduk atau orang-orang yang bisa kita mintai tolong. Memang seharusnya, hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan, bukan kepada yang lain. Jika kapal tenggelam diterjang badai, barangkali semuanya juga akan mengalami imbasnya. Sembari berbaring, ingatan-ingatan masa lalu pun semakin jelas terlihat dalam pikiran (flashback). Lama-kelamaan, akhirnya saya pun tertidur, entah pukul berapa saat ini.
Akhir waktu sepertiga malam terakhir pun tiba, menjelang waktu subuh. Secara tidak sadar, saya membuka mata perlahan-lahan. Badai terasa sudah sedikit berkurang, namun masih saja terasa sangat dahsyat. Hebatnya guncangan kapal juga masih terasa sama seperti yang tadi. Badan saya masih terasa sangat lemas. Mau berdiri saja betapa sulitnya. Saya melihat ayah, ibu, dan adik masih tertidur pulas. Meski tertidur, wajah mereka tetap terlihat tidak tenang, seperti tetap waspada dalam lelap tidurnya. Melihat suasana semua itu, mulai muncul banyak perasaan bersalah dalam hati dan pikiran. Sangat menyesal, saya pernah menyakiti hati adik dan kedua orangtua. Dalam hati, rasanya sungguh saya ingin menangis, diiringi doa tentunya. Setelah lama duduk termenung, akhirnya saya tertidur (lagi).
Tiba-tiba saya membuka mata perlahan, dan langsung melihat jam tangan. Waktu menunjukkan sekitar pukul 05.30 WIB (06.30 WITA). Betapa bersyukurnya saya ketika tak lagi merasakan terjangan badai yang menghantam kapal ini seperti tadi malam. Kapal ini sudah bisa berlayar dengan tenang seperti pada saat awal keberangkatan kemarin. Sungguh indah pemandangan di tengah lautan pada pagi hari. Kabut yang sangat tebal di sekeliling lautan semakin menambah keindahan panorama ciptaan-Nya pagi ini.
# Epilog
Setelah melakukan perjalanan laut yang cukup lama di sepanjang jalur penyeberangan Laut Jawa, akhirnya tibalah KMP Salindo Mutiara I di Pelabuhan Bandarmasih Banjarmasin yang lebih tepatnya terletak di Sungai Barito, Kalimantan Selatan.AlhamduliLlah, kapal berlabuh dengan selamat pada waktu sore hari (Jumat, 10 Desember 1999), di waktu sekitar asar lebih tepatnya. Kami pun menuju ke bawah untuk segera keluar dari kapal. Perjalanan dari Banjarmasin menuju Pelaihari membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam.
Singkat cerita…;
Suatu ketika, saatnya saya untuk masuk sekolah kembali. Dengan diantar oleh ibu, saya mendatangi sekolah baru untuk tempat saya belajar, SDN Angsau 4 Pelaihari. Saat awal-awal bersekolah di sana, saya sungguh merasa asing dengan suasananya, terutama masalah bahasa. Bagaimana tidak? Biasanya, saya menggunakan Bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan teman-teman sekolah. Tapi di sini, semua teman saya menggunakan Bahasa Banjar. Namun, lama- kelamaan akhirnya saya terbiasa juga bergaul bersama mereka. Suasana persahabatan yang saya rasakan di sini sangat indah. Mereka semua baik, friendly. Saya merasa senang dengan suasana seperti ini; dan saya sangat merindukannya lagi, karena saat ini saya sudah kembali ke tanah Jawa. :-)

{ 1 komentar... read them below or add one }

- Copyright © 2013 Red Utopia - Hataraku Maou-sama! - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan - edited by Kresna